Untuk anda yang berjiwa muda dan berfikir

Wednesday 22 April 2015

Mengarahkan pola pikir generasi "Y" menjadi Strategic Decision Maker


Sejumlah eksekutif dalam sebuah perusahaan terkadang berkeluh kesah tentang karyawannya yang didominasi oleh generasi "Y", sebuah generasi yang lahir setelah era 80-an. Generasi ini memeliki pola pikir, ekspresi, dan gaya hidup yang unik dan berbeda dengan generasi sebelumnya.


Generasi Y ini, biasanya sering dipandang negatif di tempat kerja mereka masing-masing karena karakternya yang susah diminta kerja ekstra, cepat menyerah, kurang sopan, kutu loncat karena acapkali pindah kerja. Meski begitu, Generasi Y tetap memiliki sisi positif. Karena hidupnya dikelilingi games, internet, dan media sosial, mereka dipandang lebih kreatif dan trendi.

Dalam pandangan Ratih Ibrahim, praktisi psikologi klinis, top level managament saat ini didominasi Generasi X (lahir era 70-an) yang oleh generasi sebelumnya (baby boomers) dianggap pemberontak, nakal, susah diatur, malas sekolah, punya ide macam-macam, dan full of curiosity. Adapun Generasi Y dengan karakter yang lebih ekstrem, adalah sebuah generasi yang terpapar teknologi kreasi Generasi X. Paradigma berpikir, perilaku, dan bahasa yang berbeda menimbulkan konflik antar dua generasi ini.

Seliberal apa pun Generasi X dimasa mudanya akan merasa terganggu saat berhadapan dengan pola pikir dan perilaku Generasi Y. “Dulu sebandel-bandelnya kita tetap punya loyalitas, tapi yang ini kok nggak,” kata Ratih mengutip curahan hati Generasi X.

Menurut alumnus Magister Manajemen Prasetiya Mulya Business School, Jakarta ini, Generasi Y memiliki rumusan loyalitas yang berbeda. Generasi X juga ada yang menjadi kutu loncat namun tidak menjadi tren di masanya karena ketersediaan lapangan kerja tidak sebanyak saat ini. Sementara Generasi Y berpandangan maksimal tiga tahun bekerja di satu tempat kerja. “Jika Generasi X masuk ke kumparan proses karier, Generasi Y merasa tidak butuh karir, hanya ingin hidup senang dan mencari pengalaman,”ujarnya.

Namun pada satu titik ternyata Generasi Y juga terganggu dengan kebiasaannya kerap berpindah kerja. Mereka ingin seperti Generasi X yang dipercaya menduduki jabatan level menengah dan atas manajemen. Perbedaannya Generasi X memiliki masa kerja yang cukup panjang, menguasai keahlian tertentu, dan do the works excellence.

Yang terjadi adalah pertentangan antara lingkungan peer group Generasi Y dengan kesadaran pribadinya. “Mindset yang berkembang adalah kalau lu bertahan lebih dari tiga tahun, kemungkinannya either you so damn stupid until you can’t find other opportunity atau you’re so damn smart sampai perusahaan nggak mau melepas,” kata Ratih, yang juga dikenal sebagai pendiri Personal Growth, Counseling and Development Center.

Fenomena anak-anak muda saat ini mengandalkan laptop dan Wi-Fi di kafe mal dengan tujuan bekerja sambil bermain. “Begitu mereka masuk ke korporasi yang konvensional, terjadi bentrok nilai,” kata Ratih yang juga pernah bekerja di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia ini.


Untuk menghindari benturan antar generasi di tempat kerja, Ratih menyarankan agar Generasi Y mengikuti Generasi X yang biasanya memiliki power dan bargaining yang lebih. Agar memiliki bargaining power, kekuatan negosiasi yang lebih besar, dan mempengaruhi atasan, maka Generasi Y harus mengikuti aturan main hingga mampu mencapai jabatan di level tertentu. “Jika sudah berada di strategic decision maker, you can do many things. Kalau tidak begitu, nanti dianggap tidak kooperatif, pengganggu, dan trouble maker,” ujar ratih yang menjadikan ibunya sebagai role model.

Mengarahkan pola pikir generasi "Y" menjadi Strategic Decision Maker Rating: 4.5 Diposkan Oleh: fanieyahya

0 komentar:

Post a Comment